Kamis, Januari 22, 2009

TENTANG JAZZ




Musik jazz. Yang sudah kurang lebih 100 tahun sejak kelahirannya telah mengalami berbagai metamorphosa yang dialektis akan perkembangannya sampai kepada fase dekonstruksi dan tingginya minat kalangan industri musik untuk “melestarikan”-nya. Ada sebuah hal yang menarik atas perkembangan musik jazz yang unik ini. Jika apa yang seperti dialami oleh musik klasik dari awal kemunculannya sejak jaman barouque beberapa ratus tahun yang lalu sampai munculnya aliran Wina II pada awal abad ini yang melahirkan sebuah ideologi avant-garde atau kalau di Indonesia dikenal dengan istilah musik kontemporer, namun apa yang dialami oleh musik jazz dari awal abad ini sampai tahun 1970an merupakan banyak hal yang menarik perhatian bagi para kritisi musik di dunia ini. Hal ini relatif lebih singkat dibanding dengan tradisi musik klasik. Namun sampai menjelang akhirnya abad ini, banyak terjadi perdebatan tentang apa yang dialami nasib perkembangan musik jazz itu. Karena semenjak tahun 1970an itu sendiri musik jazz sudah mengalami stagnasi yang cukup fatal atau bahkan mengahadapi fase menjelang kematiannya bagi pemerhatinya dari sudut pandang penganut filosof dan pengajar dari Amerika Serikat John Dewey, tentang perubahan konstan dalam perkembangan sebuah seni. Di lain pihak, sebuah tema yang cukup mengena mengenai musik jazz dari kalangan konservatif adalah bahwa sekarang ini banyak musisi jazz yang melakukan “pembedahan (mayat) secara dini” atau Premature Autopsy (seperti yang diutarakan oleh Jeremiah Wright dalam liner note dalam albumnya Wynton Marsalis yang berjudul The Mejesty Of The Blues) atau memperkecil ruang gerak dengan formulasi Swing + Blues = Jazz.

Apa yang dilakukan oleh lembaga AACM ( Association For Advance Creative Musicians) yang dikomandani oleh Muhal Richard Abrams bersama rekan rekannya dengan misi ideologi jazznya dengan tema from the ancient to the future as great black culture merupakan sebuah revitalisasi semangat kreatifitas musik jazz untuk jangkauan ke masa depan. Dengan melihat bahwa unsur-unsur blues sampai kepada gaya free funk atau di luar dikotomi musik jazz sekalipun merupakan sebuah bentuk integritas untuk musik jazz di masa mendatang, seperti Saxophonis Henry Threadgill dalam sebuah pernyataanya, ” Sekarang ini, musik jazz hanya menjadi salah satu perbendaharaan kosa kata saya saja”.

Didukung lagi dengan pernyataan salah satu tokoh musisi jazz postmodern, John Zorn, dengan menyatakan bahwa sekarang ini tidak ada lagi hubungan secara hirarki antara berbagai jenis musik yang ada, tidak ada lagi anggapan musik klasik “lebih tinggi” dari musik jazz dan sebaliknya ataupun antara jenis musik lainnya. Namun hal yang dilakukan oleh lembaga tersebut dapat perlawanan dari Lincoln Center di New York yang sebagai Art Directornya adalah Wynton Marsalis dan kritisi jazz Stanley Crouch, yang menuduhnya sebagai “perusak” masa depan musik jazz sebagai karya seni yang dapat disejajarkan dengan tradisi musik klasik Eropa. Dengan melihat tradisi sebagai titik pandang untuk ekspresi individual, Wynton Marsalis mengecam dengan keras adanya perkembangan musik jazz setelah era 1960an (free jazz dan fusion) dan mengatakan bahwa hal tersebut bukan bagian dari musik jazz dan bukan musik jazz itu sendiri. Di lain sisi, banyak perusahaan rekaman besar yang “terlalu memanjakan” pasar sehingga dalam memproduksi rekaman karya-karya musik jazz, keinginan pasar sudah terlalu banyak untuk turut campur, sehingga dari sisi kreatifitas dan estetika banyak yang diabaikan.

Di Indonesia sendiri, sekalipun itu memang musik dari luar, namun semangat untuk meningkatkan kreatifitas dan mencoba untuk mengadakan transplatasi dengan berbagai potensi antara semangat musik jazz dengan musik tradisional dari berbagai daerah di Indonesia menjadi sebuah kecenderungan yang banyak di lakukan oleh beberapa seniman yang berkaitan dengannya, seperti yang dilakakan oleh Karimata, Krakatau, maupun Sapto Rahardjo dengan Andre Jaume (musisi jazz dari Perancis). Selain hanya yang beberapa kalangan musisi terperangkap dalam permainan tradisi mainstream semata tanpa polesan yang lebih dalam lagi.

Kiranya perdebatan mengenai musik jazz tidak hanya muncul di tulisan ini saja, namun mencakup berbagai hal yang berkaitan dengan masalah budaya, sosial, ekonomi bahkan politik, selain dari perkembangan musikal dengan apa yang disebut musik jazz itu.

Ada beberapa pertanyaan menarik yang selalu muncul di benak kita, apakah sebuah karya seni selalu membutuhkan perubahan? Apakah sebuah karya seni jika tidak mengalami perubahan (perkembangan) dikatakan sebagai seni yang kaku atau mati? Bagaimanakah seharusnya bentuk perubahan tersebut? Apakah masih ada batasan-batasan tertentu mengenai perubahan tersebut? Ataukah memakai analogi dan pro kontra seperti dalam bukunya Francis Fukuyama “The End Of History”? Atau lebih ekstrem lagi, apakah ‘jazz’ telah mati beberapa saat setelah kelahirannya? Dan yang penting juga, apakah bagi para pecinta musik jazz di Indonesia memang hal tersebut menjadi masalah, kekuatiran, ataupun sesuatu yang hilang dari semangat musik jazz itu seperti halnya perasaan banyak orang ketika mendengar berita tentang kematian “puteri di hati semua orang” itu? (WJ)

Disadur dari Wartajazz (KEMATIAN)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar